Aku jatuh terduduk di lantai dengan keringat mengucur di seluruh tubuhku.
“Ada apa, Bu? Saya mendengar Ibu berteriak-teriak. Teman teman di belakang semuanya ketakutan.” Aku terkesima melihat Marni yang tergopoh gopoh menghampiriku. Akupun bingung mendengar ucapan Marni.
Kusambut uluran tangan Marni yang membantuku berdiri, kemudian menuntunku duduk di sofa.
Kusambut uluran tangan Marni yang membantuku berdiri, kemudian menuntunku duduk di sofa.
“Ibu tidak berteriak teriak, Mar,” sahutku dengan nada bingung.
"Ibu tadi teriak teriak, seperti orang ketakutan," bantah Marni.
“Ibu enggak berteriak. Ibu berusaha membuka pinta kamar tidur karena tidak bisa dibuka, pintunya terkunci. Ibu mendobrak pintunya,” kembali aku menyanggah ucapan Marni dengan suaraku tersengal sengal.
“Ibu enggak berteriak. Ibu berusaha membuka pinta kamar tidur karena tidak bisa dibuka, pintunya terkunci. Ibu mendobrak pintunya,” kembali aku menyanggah ucapan Marni dengan suaraku tersengal sengal.
“Maksudnya, Ibu mendobrak pintu kamar tidur. Kenapa didobrak, Bu? Pintu kamar tidur Ibu terkunci,” Marni terbelalak dan jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu kamar tidurku.
“Pintunya terbuka!” Pekikku terkejut. “Tapi tadi tertutup dan enggak bisa dibuka, Mar. Ini lengan Ibu masih terasa sakit, tadi Ibu pakai mendobrak pintu.” Aku tersentak ketika lengan kiriku masih terasa sakit saat kuraba.
“Aku tidak berhalusinasi,” bisikku dalam hati sambil meraba raba lenganku yang sakit.
Aku yakin! Aku benar benar dalam kondisi sadar. Lenganku masih terasa sakit. Aku ingat, tadi kudobrak pintu kamar tidurku dengan tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar