Gini nih, bocorannya....
Tokoh Sekar, saya kenal dia sejak di SD. Bukan teman sekolah, rumah kita deketan. Saya dan Sekar (bukan nama sebenarnya) sempat kehilangan kontak, sejak dia dan keluarganya pindah ke Palembang, setelah dia lulus SD. Awal-awalnya, kita masih sering main surat-suratan, maklum jaman dulu belum ada Hp dan fix phone juga belum secanggih sekarang. Tapi seiring waktu berjalan dan karena kesibukan masing-masing, aku dan Sekar benar-benar kehilangan kontak.
Setelah puluhan tahun aku enggak mendengar kabar tentang Sekar, di luar dugaan, aku ketemu Sekar di suatu pesta perkawinan. Tapi saya ragu-ragu untuk negur dia, Sekar seperti kehilangan kecantikannya, kelihatan layu dan tatapan matanya kosong. Sekar kelihatan 10 tahun lebih tua dari umurnya. Postur tubuhnya yang langsing dibalut kebaya hitam gemerlapan dan sarung batik sutera yang mahal terasa tidak mampu mengangkat kecantikannya. Sekar memang kelihatan anggung sekali malam itu. Tapi keanggunannya yang aku lihat sekarang ini terlihat hambar. Sekar seperti kehilangan aura. Makin lama aku semakin yakin, enggak salah lagi, dia pasti Sekar. Dengan modal nekat dan berani malu, aku deketin Sekar. "Sorry ya, kalo enggak salah. Apa nama kamu Sekar?" Tahu-tahu dia jawab,"iya, bener. Kamu Anny ya. Aduh.., Ni. Gue dari perhatiin elu, mau negur takut salah. Gue enggak bakalan lupa ama hidung lu, tuh. Si Betet..." Hahhaaa..., waktu di SD aku emang sering diejek sama teman-teman sekolahku katanya hidungku kayak paruh burung betet.
Rupanya Sekar dalam perkawinannya, enggak happy, banyak sekali yang dia ceritain ke saya tentang ‘kegagalan' yang dia rasakan dalam perkawinannya. Curhatannya Sekar inilah yang menginpirasikan saya menulis cerita kehidupan Sekar menjadi sebuah novel.
Tokoh Panji suami Sekar, persis alias foto copy karakternya seperti yang saya tulis, cuma saya rubah sedikit, sekitar enggak sampai 20%. Panji yang cuek bebek mewek nyebelin dan cool minta digampar. Ini benar! Saya aja enek banget lihat gayanya Panji. Mungkin, ini mungkin lho ya. Panji udah terbiasa hidup sendiri tanpa keluarga di .... Enggak usah saya sebutin ya, pokoknya di luar negri. Sejak dia lulus SMP, tinggal sama om-nya, kakak bapaknya. Jadi mungkin hal ini mempengaruhi gaya hidupnya dan juga perilakunya. Tapi kata Sekar, Panji sekeluarga memang kayak gitu, kayak enggak ada cinta kasih di antara kakak beradik dan orang tuanya. Oh iya, kenapa saya berani nulis karakter Panji hampir mirip? Karena Sekar, tokoh yang sebenarnya udah cerai dari Panji sekitar 5-6 tahun yang lalu. Itu sebabnya malam itu dia datang sendirian ke pesta perkawinana, Ironis sekali, Sekar bercerai saat umurnya udah dibilang enggak muda lagi, 49 tahun dan setelah ketiga anak laki-lakinya menikah, atau tepatnya beberapa bulan sesudah anak laki-laki bungsunya menikah. Sesudah bercerai Sekar sibuk dengan seabrek kegiatan sosialnya dan juga dia bergabung dengan perusahaan kakak tertuanya, menjalankan usaha di bidang otomotif dan dia juga bergabung dengan LSM, sebagai seorang penyuluh... (enggak usah saya sebutkan). Bahkan dia sempat diundang ke beberapa negara untuk melakukan penyuluhan....
Sebenarnya, saya lebih suka menulis alur kehidupan Sekar yang sebenarnya. Tapi, saya harus menghormati hak-hak dan privasi Sekar. Enggak banyak teman-teman yang tahu tentang cerita kegagalan perkawinan Sekar. Tokoh Sekar yang sebenarnya, sangat rapih menutup rapat-rapat rahasia kegagalan perkawinannya. Dia dan suaminya tetap kelihatan mesra dan saling mencintai. Sebenarnya sampai detik perceraiannya Sekar masih mencintai suaminya, dia cuma enggak tahan dengan sikap dan perilaku suaminya yang kata Sekar kaya tembok dan enggak bervariasi. Hanya itu saja alasan yang Sekar sampaikan kepada saya dan saya merasa harus menerimanya. Mungkin Panji juga masih mencintai Sekar, tapi mungkin karena Panji lebih nyaman hidup sendiri tanpa keluarga, kayak dulu waktu dia hidup di luar negeri, dia mengabulkan permohonan cerai Sekar yang emang udah bulat sebulat bulan purnama dan enggak ada satupun dari keluarganya apalagi teman-temannya yang sanggup menghalang-halangi tekadnya untuk bercerai. Dia udah mantap cerai dengan dukungan kuat dari ketiga anak dan menantunya. Itulah Sekar, sahabatku.
Mau tahu tentang tokoh Faby? Ini yang lucu, tokoh Faby sendiri karakternya enggak saya modifikasi, cuma alur cerita kehidupannya sedikit saya acak. Seperti juga dengan Sekar, saya juga harus menghormati privasi dan hak-hak Faby. Faby yang nyablak kalau ngomong, Faby yang egois, Faby yang kata teman-temannya sombong. Tapi apapun kata orang, saya menyayangi Faby. Sebenarnya Faby hatinya baik, dia orangnya enggak tegaan dan paling marah kalau lihat orang yang masa bodoh sama pengemis yang cacat betulan. Saya baru mengenal Faby beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena kami sama-sama berlambang timbangan, aku dan Faby seperti sudah kenal lama dan persahabatan kami berjalan seperti kami sudah kenal lama.
Sekarang saya mau cerita tentang tokoh Ajeng. Tokoh Ajeng yang sebenarnya, menikah dengan orang Jepang. Dia lama tinggal di Tokyo dan enggak tahu kenapa tiba-tiba dia pulang ke Jakarta tanpa bercerai dari suaminya. Tokoh Ajeng yang sebenarnya memang enggak punya anak. Ada satu hal yang saya merasa kurang pas dengan alur kehidupan Ajeng yang sebenarnya (sorry saya enggak bisa cerita di sini). Aku dan Ajeng berteman, sejak dia kembali ke Jakarta, kira-kira 25 tahun yang lalu. Perkenalan saya berawal dari, saya mencari guru kursus bahasa Jepang. Salah satu teman saya memperkenalkan saya kepada Ajeng (bukan nama yang sebenarnya), sejak itu saya jadi murid private kursus bahasa Jepang. Saya enggak gitu perduli apakah dia punya ijasah mengajar bahasa Jepang atau enggak. Mungkin karena saya ambil kursus bahasa Jepang, awalnya untuk mengisi waktu yang kosong sebelum saya punya anak. Lama-lama, aku dan Ajeng jadi berteman dekat, tapi akhirnya jadi agak merenggang karena hal-hal yang enggak bisa saya sebutkan di sini. Sebenarnya itu hak dia dan aku enggak boleh mengganggu kehidupan orang lain, jalan yang dia pilih. Karena saya juga suka diganggu sama orang lain kehidupan yang udah saya pilih. Tapi kebetulan saja, pilihan saya dan Ajeng enggak sejalan. Kami tetap berteman sampai sekarang dan waktu saya mau menulis novel dilema perempuan, saya menghubungi dia melalui telepon dan menyampaikan niat saya menjadikan dia dalam tokoh novel saya. Di awal alur cerita kehidupan Ajeng sama persis dengan alur cerita Ajeng yang sebenarnya, tapi kekecewaannya terhadap perkawinannya membuat dia berubah karakter (closed). Ajeng yang saya kenal adalah Ajeng dengan karakter yang baru. Mungkin suatu saat, saya akan membukukan kehidupan Ajeng yang sebenarnya, karena lebih menarik. Sebenarnya Ajeng sama sekali tidak keberatan cerita kehidupannya dikemas dalam dilema perempuan. Tapi saya pikr akan lebih menarik kalo saya kemas jadi novel saya yang berikutnya. Ajeng yang sebenarnya tidak pernah terjun ke lembaga social, dia menjalankan usaha biro perjalanan. Alur cerita dunia social saya ambil dari teman saya lainnya yang memang terjun utuh ke LSM, kemudian saya masukan ke dalam alur cerita kehidupan Ajeng.
Siapa lagi ya, yang belum saya kupas di sini. Oh iya, tokoh Dini Arkadini. Dini yang asli, saya enggak terlalu kenal tapi dia dekat dengan tokong Ajeng yang asli. Waktu saya butuh tokoh psikolog yang punya masalah dalam kehidupan perkawinannya, Ajeng mengingatkan saya kepada Dini seorang psikolog yang punya masalah dalam perkawinannya.
Pada waktu saya ketemu sama Ajeng dan Dini (tokoh sebenarnya) untuk interview, ngobrol punya ngobrol Dini menemukan ide cerita yang menurut mereka bisa bikin sedap novel saya. Dini langsung menelepon Cindy ke Paris dan menceritakan rencana saya menulis ‘kasus' kehidupannya. Di luar dugaan saya, ternyata Cindy setuju. Tadinya saya udah pesimis, mana ada orang yang mau kelainan seksnya diekspose. Cindy yang asli, hiperseks. Ini benar-benar terjadi.
Saya dan Cindy jadi berteman, meskipun wajahnya yang cantik cuma bisa saya lihat dari webcam waktu saya melakukan interview. Saya sangat berterima kasih kepada kecanggihan IT, saya jadi bisa interview lewat chatting online di YM dan skypee. Kadang-kadang saya telepon Cindy yang asli ke Paris dari Singapore, karena biaya telepon long distance lebih murah daripada Jakarta. Cindy yang sebenarnya enggak punya anak dan sampai sekarang masih tinggal di Paris dan udah pindah warga Negara.
Saya salutt, meskipun Cindy udah puluhan tahun tinggal di Paris, ternyata bahasa Indonesianya masih bagus banget dan gaul banget. Dia bisa ngomong bahasa anak-anak muda Jakarta,"so what geto lhoohh." Atau "ember..." Ternyata Cindy tetap berhubungan dengan teman-temannya di Bandung dan Jakarta dan juga keluarganya di Jakarta, melalui fasilitas internet. Canggih....
Sekar udah, Panji, Ajeng, Dini, Cindy, semuanya udah dibahas. Siapa lagi ya? Hhmmm.... Cerita tentang orang tua Panji saya ambil dari cerita salah satu saudara saya yang benar-benar baru tahu bahwa suaminya punya istri muda dan anak, setelah suaminya jadi meninggal. Alur ceritanya, enggak ada yang saya rubah. Tragis! Mungkin benar kata salah satu teman saya, ‘Laki-laki ditakdirkan untuk jadi pembohong dan perempuan ditakdirkan untuk mempercayai kebohongan laki-laki'.
Kedua kakak tokoh Sekar, sebenarnya enggak ada. Cuma hasil imajinasi saya. Tokoh Sekar yang asli, dia tiga bersaudara semuanya perempuan. Saya sempat mengenal kedua kakak perempuan tokoh Sekar, meskipun tidak terlalu dekat hubungan kami.
Aduh! Hampir kelupaan, tokoh Ari dan Maria, anak-anak Sekar. Sebenarnya, saya ambil dari cerita-cerita ‘nyata' teman-teman anak-anak saya, juga anak-anak dari teman-teman saya yang saya olah jadi satu tulisan yang saya proyeksikan menjadi tokoh Ari dan Maria. Saya sisipkan juga dialog-dialog saya dengan anak-anak saya.
Hore...., akhirnya selesai deh, saya mengupas tokoh-tokoh yang ada di dalam novel DILEMA PEREMPUAN. Tapi, sorry ya. Saya enggak bisa mengungkap secara gamblang dan transparan, tokoh ‘nyata' di atas. Saya tetap ingin menghormati hak dan privasi mereka, yang udah banyak sekali membantu saya, terwujudnya tulisan saya ini.
Bye...... C U in my next novel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar